Subsidi BBM Hanya Janji, Nelayan Takabonerate Jadi Penonton di Negeri Sendiri
SS.id | Takabonerate – Sepanjang tahun 2025, masyarakat di Kecamatan Takabonerate, Kepulauan Selayar, tidak pernah merasakan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Solar yang dijual di pulau-pulau hanya tersedia di pengecer dengan harga stabil Rp. 12 ribu per liter bahkan dua minggu lalu naik menjadi Rp.13 ribu,jauh di atas harga subsidi pemerintah.
Kelangkaan BBM menjadi cerita sehari-hari bagi warga. Tidak jarang, antrean panjang terjadi di kios pengecer saat kabar stok solar baru saja masuk. Dalam hitungan jam, solar bisa ludes, meninggalkan banyak warga pulau hanya bisa gigit jari. Kondisi ini membuat nelayan harus menunda berangkat melaut atau bahkan berhutang kepada pengecer demi bisa mendapatkan bahan bakar.
“Apalagi kalau cuaca tidak bersahabat maka pastikan saja solar kebutuhan melaut kerap kosong di pulau ini, dan saya kira sama kondisi di pulau lainnya,” ungkap M. Ilyas, pemerhati nelayan di Takabonerate, Rabu (17/9/2025).
Perbandingan harga pun terlampau jauh. Jika pemerintah menetapkan harga solar subsidi di angka Rp6.500 per liter, nelayan di Takabonerate harus merogoh kocek hampir dua kali lipat, yakni Rp12.000 per liter. Selisih inilah yang membuat biaya operasional nelayan semakin berat dan seringkali tidak sebanding dengan hasil tangkapan.
Dampaknya sangat dirasakan nelayan kecil. Ruslan, nelayan asal Pulau Jinato, mengaku modal melaut semakin besar.
“Modal saya melaut sebagai pemancing ikan hidup antara 300 sampai 500 ribu per sekali melaut Pak. Solar saya ambil 10 sampai 15 liter, kemudian rokok dan ransum serta perlengkapan melaut lainnya. Kadang hasilnya hanya untuk tutup ongkos dan ada sedikit untuk dapur keluarga. Itupun kami kadang bermalam di laut sampai 2 malam mencari ikan,” jelasnya.
Kelangkaan BBM di Takabonerate juga memicu efek domino. Harga kebutuhan pokok di pulau ikut terkerek naik karena biaya transportasi semakin mahal. Barang-barang dari Benteng Selayar atau Bulukumba yang masuk ke pulau kecil harus ditanggung ongkos laut berlapis, dan pada akhirnya dibebankan ke masyarakat. Situasi ini menambah beban hidup warga yang rata-rata berprofesi sebagai nelayan tradisional dengan penghasilan tidak menentu.
Di tengah keterhimpitan itu, nelayan Takabonerate tetap menyimpan kebanggaan pada tanah kelahiran mereka, meski kesejahteraan belum berpihak.
“Kami seolah hanya jadi penonton di Takabonerate kami, tapi kami bangga karena tanah kelahiran kami telah menjadi tempat kerja mencari hidup orang banyak,” ujar salah seorang nelayan.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah daerah maupun Pertamina belum memberi keterangan resmi terkait macetnya distribusi BBM bersubsidi di Takabonerate sepanjang tahun ini.